TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi milik Keluarga Cendana. Penyitaan itu dilakukan guna menjalankan putusan Mahkamah Agung atas gugatan Kejaksaan Agung terhadap Yayasan Supersemar milik Keluarga Cendana.
Baca: Gedung Granadi Milik Keluarga Cendana Disita Negara
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan Yayasan Supersemar digugat Kejaksaan Agung secara perdata pada 2007 atas dugaan penyelewengan dana beasiswa pada berbagai tingkatan sekolah yang tidak sesuai serta dipinjamkan kepada pihak ketiga. "Gedung Granadi sudah resmi disita oleh eksekutor," tuturnya, Senin, 19 November 2018.
Kasus penyelewengan dana beasiswa itu ditemukan Kejaksaan Agung pada 1998 alias pasca lengsernya Presiden Soeharto, sang pendiri yayasan. Kala itu, Yayasan Supersemar adalah satu dari tujuh yayasan yang diduga melakukan penyimpangan dana. Total dana yang diselewengkan tujuh yayasan itu berjumlah sekitar Rp 1,4 triliun dan US$ 420 juta.
Fulus dari tujuh yayasan itu disalurkan ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Soeharto mulai 1985 hingga 1998. Padahal, menurut Kejaksaan, dana yang masuk ke rekening yayasan tersebut merupakan uang negara karena dihimpun dengan peraturan pemerintah.
Yayasan Supersemar didirikan pada 16 Mei 1974 dengan "modal awal" Rp 10 juta dari Presiden Soeharto. Di atas kertas, misi yayasan ini adalah membantu siswa berbakat yang tak mampu membiayai studinya. Untuk menghimpun dana, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan.
Lewat Yayasan Supersemar, Soeharto menyebar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar. Penerimanya antara lain PT Sempati Air milik Tommy Soeharto; PT Kiani Sakti dan Lestari milik Bob Hassan; Grup Nusamba, yang juga milik Bob Hassan; Bank Duta; dan kelompok usaha Kosgoro. Bank Duta—yang telah kolaps—merupakan penerima dana terbesar, sekitar US$ 420 juta.
Kendati telah ada temuan penyimpangan duit negara oleh yayasan, pengusutan perkara itu tak berjalan mulus. Pasalnya, pengusutan itu tidak lepas dari tarik ulur berbagai kepentingan. Misalnya saja pada 11 Oktober 1999, Jaksa Agung Andi M. Ghalib malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Alasan Andi, tuduhan Soeharto menilap uang negara via ketujuh yayasan tak terbukti.
Namun, dua bulan kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya dibuka lagi. Kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Pada Agustus tahun itu, perkara masuk tahap penuntutan. Namun persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.
Mentok di jalur pidana, pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa. Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa. Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Adapun Soeharto kembali lolos dari gugatan. Pertimbangan majelis hakim, Soeharto menggangsir uang negara atas nama Yayasan Supersemar.